Kisah Cinta para Dewi





Dalam kisah cinta dunia wayang, salah satu yang terpatri di ingatan semua orang, pastinya lakon percintaan abadi Rama - Shinta. Sebuah kisah percintaan yang berasal dari India dan disadur pujangga Jawa melalui kakawin Ramayana.  

Cerita yang memuat perebutan seorang gadis bernama Dewi Shinta, antara Sri Rama dengan Rahwana, maharaja Alengka. Selain itu, dari epos Mahabharata sendiri, melalui kisah Pandawa dan Kurawa, kurang begitu terdengar gaungnya. Hanya menyisakan jalan berliku dari Arjuna sebagai sosok playboy yang dikelilingi perempuan cantik dari berbagai kalangan, baik manusia maupun dewata. Atau di pedalaman Jawa, masih terdengar tentang kisah perwayangan dewa Kamajaya dan Kamaratih yang sangat melegenda hingga kini. 

Dalam novel Tembang cinta para Dewi yang dituliskan kembali oleh Naning Pranoto berdasarkan kisah asli perwayangan dari berbagai versi. Terdapat empat kisah dari dua zaman berbeda, yakni jauh sebelum era Pandawa - Kurawa dan pada masa perang Bharatayuda. 

1. Luka Hati Dewayani Berkisah mengenai seorang gadis bernama Dewayani, yang tinggal bersama Ayahnya, Begawan Sukro, seorang tokoh pertapa sakti mandraguna sekaligus musuh para Dewata. Keduanya bernaung di kerajaan raksasa Wrishaparwa, yang berperang dengan para dewa di khayangan Suralaya. Begawan Sukro, mempunyai kedudukan sangat tinggi melebihi sang raja raksasa sendiri, karena mempunyai ilmu ghaib Sanjiwani, yang mampu menghidupkan orang mati. Sayang, beda Ayah dan juga anaknya, Dewayani yang bernasib tragis dalam percintaan. Benih-benih cintanya dengan Kacha, seorang pangeran utusan dewata sekaligus musuh Ayahnya semakin menjadi-jadi. Tulusnya cinta Dewayani yang putih bersih ternyata tidak diimbangi oleh Kacha, yang beberapa kali ketahuan berbuat serong, justru bersama Sarsmitha, putri raja Wrishaparwa. Ketika api asmara mulai terjalin diantara ketiganya secara berlainan, naas untuk Dewayani. Karena ia harus merelakan dikhianati oleh suami tercinta, sekaligus kawan terdekatnya, Sarsmitha. Hingga dengan perasaan mendalam, harus merelakan keduanya berpautan asmara, walau dalam diri Dewayani terluka. 

2. Dendam Abadi Seorang Dewi Bermula dari pengembaraan seorang Bisma muda, pewaris tahta kerjaan Hastinapura sekaligus Kakek buyut Pandawa - Kurawa. Karena terikat sumpah untuk tidak mempunyai istri selamanya, menjadikan Bisma harus menerima kenyataan getir dalam hidupnya. Dewi Amba, gadis yang ditolak Bisma, tidak kuasa meredam kekecewaannya sebagai seorang perempuan bersih yang pernah disia-siakan. Dengan amarah yang menggelora, Dewi Amba pun terpaksa melakukan tindakan nekat demi mempertahankan kesuciannya selama ini dengan bunuh diri. Ketika letupan api berkobar, sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Dewi Amba pun bersumpah untuk bisa membunuh Bisma pada penitisannya di masa mendatang, melalui diri Srikandi. Dan, sumpah yang berat dari sang Dewi, akhirnya dapat terlaksana saat perang Bharatayuda, Bisma tewas oleh panah penitisan Amba sekaligus istri Arjuna. 

3. Ketika Srikandi Jatuh Cinta Gagah perkasa, keturunan seorang raja, mempunyai istri tercantik di alam raya dan mendapat julukan Lelalaning Jagat, atau pria tertampan di dunia. Tiada yang kurang dari sosok bernama Arjuna, tokoh penengah Pandawa sekaligus suami dari Dewi Wara Sumbadra dan sepupu Sri Kresna yang merupakan penitisan Dewa Wisnu. Namun, sama halnya dengan para dewa di dunia perwayangan, semuanya tiada yang sempurna. Termasuk dengan Arjuna, yang harus jatuh bangun mengejar impiannya: Mempersunting Srikandi. Srikandi, - berbeda dengan epos asli dari India, yang merupakan Putri ketiga kerajaan Cempalareja terkenal dengan kemahirannya dalam memanah. Meski menyadari bahwa Arjuna telah mempunyai istri yang teramat cantik jelita, Wara Sumbadra. Percintaannya yang terlarang dengan sosok playboy tersebut menjadi bahan pergunjingan khalayak ramai, mulai dari Pandawa, Kurawa hingga para Dewata. Tetapi, karena kisah cinta Arjuna - Srikandi bukan sekadar percintaan lahiriah saja, meski secara normal keduanya saling suka sama suka. Melainkan adanya peranan dari para dewa untuk kemenangan Pandawa di medan perang Kurusetra melawan Kurawa melalui penitisan Dewi Amba.

 4. Mengejar Bayang-bayang Merah "Ketika cinta membutakan segalanya, maka apa yang kau punya menjadi sirna." Wejangan Prabu Kurundageni dari kerajaan Tirtakandasan kepada anaknya, Kertawiyoga. Demi memperistri sang gadis dari kerajaan Mandaraka, Dewi Erawati, Kertawiyoga nekat mempertaruhkan segalanya yang ia punya. Sang putera mahkota kerjaaan Tirtakandasan itu, hanya bisa menyesali nasib ketika penculikannya kepada Dewi Erawati, akibat rasa cintanya berubah menjadi bencana. Istananya luluh lantak hingga rata dengan tanah akibat serangan dari Prabu Baladewa dan kerajaan Mandaraka. Sementara tubuhnya hancur berkeping-keping dihajar Arjuna, sang penengah Pandawa yang harus membasahi tangannya dengan darah demi menyelamatkan Dewi Erawati dari cengkraman Kertawiyoga. Kendati demikian, rasa cintanya pada sang Dewi Erawati tidaklah padam meski api penasaran terus menggelayuti dirinya. Perlakuan baik dan sopan dengan tidak menyentuh sama sekali, selama sang Dewi diculik dalam istananya, merupakan sebuah kisah satir tentang cinta bertepuk sebelah tangan. Seperti halnya metafora kehidupan yang semu, usaha cintanya yang tulus dan murni tidak menggoyahkan perasaan sang gadis pujaannya. Hingga ia sendiri harus menanggung derita, demi sebuah cinta... *     *     *

 Membaca novel Tembang cinta para dewi, yang didapat sejak tahun 2004 lalu. Menambah pengetahuan lebih dalam mengenai sisi lain dari kisah perwayangan yang terkadang samar. Tidak hanya konflik menang - kalah, berhasil atau menjadi pecundang, juga ada tabir kehidupan misteri yang menjadi cerminan dari manusia. 

Novel "jadul" ini, setidaknya mengingatkan akan sebab-akibat tentang suatu usaha, bahwa sebuah proses (perjalanan) jauh lebih berarti ketimbang hanya mementingkan suatu hasil, termasuk dalam hubungan sosial kepada lawan jenis.

Arjuna / Janaka ( Menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa)

RADEN ARJUNA (JANAKA)

Bahasa Indonesia

Pangeran Arjuna (Janaka) penengahnya Pandawa, putranya  Pandu dan Dewi Kunti. .Ksatriannya di  Madukara. Parasnya satriya tampan  tanpa cacad. Di dunia  tidak ada lawan ketampanannya, karena Janaka adalah simbol dari perbuatan baik. Amal baik tidak  bisa pisah dengan surga (Jannah). Janaka dari kata jannahuka, berarti swargamu. Makai siapa saja yang ingin masuk surga, itu harus bertindak dan melakukan tuntunannya  agama dengan sungguh-sungguh

 Arjuna satriya digdaya sakti mandraguna, wajah  tenang, pandai dalam segala hal , senang menolong siapa saja, maka dicintai oleh siapa pun. Tidak mustahil jika. Istrinya . Istri banyak ini berarti Janaka dicintai oleh siapa pun. Jika laki-laki   ngondhangake kasudibyane, jika wanita ngondhangake Sigit citra.

Arjuna selain kaya istri , juga kaya  pengetahuan  (ilmu), kaya senjata  dan mantra, Berguru kepada Begawan Padmanaba dapat pusaka  tiga warna, yaitu: 1. Aji Sepiangin , keampuhan aji jika  kawateg, cepatnya berjalan bisa menandingi cepatnya angin. 2. Aji Malayabumi, Arjuna bisa menghilang sapalungguhan, 3. Aji Sempaliputri, Arjuna bisa manijing ajur ajer.

pusakanya banyak. Yang sering digunakan: Keris Pulanggeni, Kalanadhah, Panah merdaging, rodha Dhadhali, Haryas Sangkala, trutama, Pasopati.

Bahasa Jawa

Raden Arjuna (Janaka) satriya panengahing Pandhawa, putrane Prabu Pandhu lan Dewi Kunthi. Kasatriyane ing Madukara. Wujude satriya bagus tanpa cacad. Ing jagad ora ana tandhingane bab kebagusane, amarga Janaka minangka simbol amal becik. Amal becik ora bisa pisah klawan swarga (Jannah). Janaka saka tembung jannahuka, tegese swargamu. Mula sapa sing kepengin mlebu swarga, kudu tumindak becik lan nindakake tuntunaning agama kanthi temen.

Arjuna satriya digdaya sekti mandraguna, polatan luruh jatmika, prigel ing samubarang, seneng tetulung marang sapa bae, mula ditresnani dening sapa bae. Ora mokal yen garwane pirang – pirang. Bojo akeh iki tegese Janaka ditresnani dening sapa bae. Yen priya ngondhangake kasudibyane, yen wanita ngondhangake sigiting citra.

Arjuna kejaba sugih bojo, uga sugih kawruh (ilmu), sugih gaman lan mantran, sugih guru. Meguru marang Begawan Padmanaba antuk aji telung warna, yaiku : 1. Aji Sepiangin, dayane aji yen kawateg, kebating lakune Arjuna tan prabeda kaya kebating angin. Lakune bisa ngungkuli lakuning barat, 2. Aji Malayabumi, Arjuna bisa ilang sapalungguhan, 3. Aji Sempaliputri, Arjuna bisa manijing ajur ajer.

Pusakane pirang – pirang. Kang asring digunakake : Keris Pulanggeni, Kalanadhah, Panah Merdaging, Rodha Dhadhali, Haryas Sangkala, Sarutama, Pasopati.

Puntadewa / Yudistira (Menggunakan bahasa Jawa)


Prabu Puntadewa iku ratu ing Amarta (Ngamarta), Dasanamane : Prabu Yudhistira, Darmakusuma, Darmaputra, Darmawangsa, Darmaraja, Gunatalikrama, Sadha Dwijakangka, Sang Ajathasatru.

Garwane asma Dewi Drupadi, mbakyune dewi Wara Srikandhi, putrane Prabu Drupada saka Negara Pancala. Saka Sang Prameswari Dewi Drupadi iki, Prabu Puntadewa peputra kakung siji, kekasih Raden Pancawala.

Prabu Puntadewa ratu watak pandhita. Watake sabar lan ikhlas, lila donya lila ing pati. Apa bae barang darbeke, yen ana sing njaluk mesthi diparingake. Nadyan segenge pisan yen ana sing njaluk, mesthi dililakake. Sajake urip ora tau ngapusi (goroh) lan ora nate perang. Sanadyan dipeksa dening Prabu Kresna supaya kersa goroh kanggo kemenangane Pandhawa, nalikane Pandhita Drona jumeneng Mahasenapati ing perang Bharatayuda, Prabu Puntadewa tetep ora kersa. Prabu Puntadewa tetep ngendika jujur, “ingkang pejah Hesthitama”. Mung olehe ngendika “Hesthi” lirih, “Tama”ne banter. Satemah dadi jalaran Pandhita Drona bingung, lan bisa dipateni dening Raden Trusthajumena.
Amarga saking banget ngati –atine, ora kersa gawe seriking liyan, lan ora kersa goroh, mula Prabu Puntadewa digambarake wong sing ludirane seta. Saking sucine uripe.

Pusakane Prabu Puntadewa wujud kitab/buku, jenenge Layang Kalimasada Pustaka Jamus. Prabu Salya klakon seda ing paprangan merga pusaka iki. Kejaba iku, pusaka liyane wujud tumbak lan payung, jenenge tumbak Karawilang lan payung Tunggulnaga.

 =====================

Prabu Puntadewa iku ajejalok Yudistira iya prabu Dwijakangka utawa sinebut uga Prabu Gunatalikrama.

Prabu Puntadewa kagungan pusaka arane jimat kalimasada. Prabu Puntadewa kena diarani manungsa setengah dewa. Geneya Prabu Puntadewa diarani setengah dewa amarga Prabu Puntadewa kagungan ciri-ciri kaya Dewa, kayata Getihe putih, Sipate sabar, ora kagungan mungsuh, lan tansah tresna marang karukunan.

Prabu Puntadewa iku garwane Dewi Drupadi, kagungan putra iku asmane Raden Pancawala. Prabu Puntadewa iku putrane Prabu Pandhu Dewanata lan Dewi Kunthi Nakibrata.

Prabu Puntadewa iku ratu ing Amarta kang sabar lan mboten seneng perang. Nalika perang gedhe Bratayuda, Prabu Puntadewa dipekso mandeg Senopati tanding karo Prabu Salya saka Mandukara. Prabu Salya gugur, Prabu Puntadewa kang unggul
=====================
Raden puntadewa inggih menika peranganing pandhawa ingkang sepuh piyambak. Putra Prabu Pandhu. Narendra ing ngastina. Piyambakan kawentar minangka putra ingkang saleh, jujur, sabar, tata krami, lila sregep, saha mituhu. Seserepan ingkang dipuntamekaken prekawis agami. Pramila ingkang dipunremeni prekawis kesaenan, kajujuran, sarta lila legawa. Minangka putra pambarep Pandhawa tansah bekti kaliyan tiyang sepuh sarta sanget asihipun dhumateng para rayi piyambakipun tansah momong para rayi kanthi raos asih. Pramila Raden Puntadewa tansah dipuntresnani kaliyan para sesepuh, dipunajeni kaliyan para rencang, saha dipunbekteni dening para ingkang anem.

Awak-awakipun kuning gumrining, dedeg lencir, saha ukuranipun tanggung. Pasuryanipun bagus ules pethak mratandhani sucining manah.

Busana saha rerenggan ingkang dipunagem wujud gelung keeling. Sumping waderan, kalungmenggah, kelatbau nagamangsa, gelangkana ganda, ali-ali gunung sepikul, kampuh bathik limar lapis, kroncong ngrangenan.

Werkudara / Bima (Menggunakan bahasa Jawa)


WERKUDARA 

Werkudara iku putrane Prabu Pandhu Dewanata Ian Dewi Kunthi sing angka kalih. Werkudara iku titisane Bathara Bayu. Awit putra angka loro, mula Werkudara uga sinebut putra panenggaking Pandhawa. Sesebutan liyane Bratasena, Bimasena, Haryasena, Bayusiwi, Jagal Abilawa, Kusumadilaga, Jayalaga. Kastriyane ing Jodhipati utawa Tunggul Pamenang.

Garwane telu aran Dewi Nagagini, Dewi Arimbi, Ian Dewi Urangayu. Karo Dewi Nagagini, 'peputra Raden Antareja. Karo Dewi Arimbi, peputra Raden Gathutkaca: Karo Dewi Urangayu, peputra Raden Antasena.

Raden Werkudara duwe pusaka aran Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Ian Gada Lambita¬muka. Aji-ajine Bandung Bandawasa, Ungkal bener, Blabag Pengantol-antol, Bayu Bajra.

Kacarita laire Bratasena. Nalika bayi lair awujud bungkus. Kabeh gegaman ora tumama. Kang bisa mbedhah bungkus mung Gajah Sena. Bareng wis bedhah, bayi diidak-idak, ditlale, digadhing malah saya gedhe. Gajah Sena ditamani kuku Pancanaka, mati sanalika. Suksmane nyawiji karo Bratasena.
Bratasena utawa Werkudara iku ora bisa basa marang sapa wae. Dadi yen micara tansah ngoko. Sing dibasani mung Sanghyang Wenang lan Dewa Ruci. Sanajan mangkono Werkudara duwe watak setya tuhu marang guru, bekti marang ibu, teguh ing janji, bela bebener, mbrastha angkara, dhemen tetulung, tresna marang kadang, adil. Watak setya marang guru, dituduhake nalika dheweke diutus dening gurune Pendhita Durna goleh banyu Perwitasari ing tengah alas ing telenging segara. Kang sajatine Werkudara dialap patine, dijlomprongake. Nanging amarga setya bekti marang guru. Werkudara malah antuk nugraha, bisa ketemu marang guru sejati (Dewa Ruci), kang mahanani Werkudara bisa pinter tanpa guru maneh.

Tandha bektine marang ibune dibuktekake, kanthi merjaya Dursasana, getihe kanggo jamas rikmane Kunthi lan sirahe kanggo keset dening Dewi Kunthi. Tresna marang kadang, kabeh kadange tansah dibela lamun nuhoni bebener. Nanging yen luput, sanadyanta anake dhewe bakal diajar, kaya nalika Gathutkaca maling Pregiwa. Jebule Gathutkaca mung dipaeka sebab sing maling Gathutkaca palsu. Dhemen tetulung upamane nulungi Ratu Wiratha (Prabu Matswapati).

Ing perang Bratayuda Werkudara dadi agul-aguling Pandhawa. Werkudara kang bisa mateni Dursasana, Sengkuni lan Duryudana. Sawise perang Bharatayuda, Parikesit wis jumeneng nata, bebarengan marang sedulur Pandhawa wis jumeneng nata, bebarengan marang sedulur Pandhawa liyane, ninggalake praja. Werkudara tiwas sumusul Sadewa, Nakula, lan Harjuna. Werkudara tiwas angka papat amarga nalika uripe seneng mangan, rada kasar, lan ora bisa basa.

Wosing budi pekerti:
1. Duwea watak satriyatama: luhur ing budi, seneng tetulung, adil, wani ing bebener, mbrastha angkara murka!
2. Bektia marang wong tuwa, luwih-luwih marang ibu!
3. Dektia marang guru!
4. Tresna asih marang sedulur.
5. Darbea jiwa satriya kang dadi bentenging negara!

 ==============


Bima (basa Sangskerta: भीम, Bhima) utawa kang luwih kaloka kanthi jeneng Werkudara iku putrané Prabu Pandhu Déwanata (ratu Ngastina) lan Dèwi Kunthi Talibrata kang nomer loro. Sedhuluré kabèh cacahé ana lima kang banjur sinebut Pandhawa. Mula Bima iya banjur sinebut satriya Panenggak Pandhawa. Miturut Kitab Mahabharata, Bima (Bhima) dilairaké wujud bayi lumrah. Lair saka guwa garbané Dèwi Kunthi. Ramané bebisik Bathara Bayu, déwaning angin. 

Kacarita, sawijining ésuk Dèwi Kunthi ngenggar-enggar penggalih karo nggendhong Bhima sing isih bayi. Dumadakan ana macan saka suwaliking grumbul. Awit saking kageté, Bima mrucut saka gendhongan, tiba ing sadhuwuré watu gilang sing gedhéné sasirah gajah. Anèhé dudu sirahé Bima sing pecah, nanging malah watuné sing ajur mumur. Bima gereng-gereng nangis nggolèki ibuné. Krungu tangisé Bhima iki, macan sing mauné arep mbadhog (mangsa) bayi Bhima malah gila, satemah mlayu sipat kuping. Miturut crita pedhalangan, Bima (Werkudara) dilairaké wujud bungkus. Jaman isih cilik urip ing Astina, nanging sakwisé ditundhung déning Korawa, Bima lan sedulur-seduluré dibuwang lang pungkasané bisa babat Alas Mertani. Dhèwèké banjur urip ing kesatriyan Jodhipati/Unggulpawenang.

Anak-anaké Bima iki asring dadi pralambang prejurit. Antareja bisa ambles bumi, kang njaga dharatan. Gatotkaca bisa mabur, kang njaga awang-awang. Antasena bisa ambles bumi lan urip ing banyu, kang njaga laut. Bima uga klebu dadi salah sijiné warga Bayu kang cacahé ana wolu, yakuwi Bathara bayu dhéwé, Anoman, Liman Situbandha, Garudha Mahambira, Sarpa Nagakuwara, Gunung Maenaka, lan Ditya Jajawreka. Bima utawa Werkudara uga klebu dadi putrané Bathara Bayu, mula banjur sinebut Bayuputra iya bayu Tanaya kang tegesé anak Bayu (déwaning angin). Aji-ajiné aran aji bandhungbadawasa, Blabag Pangantol-antol lan Wungkal bener. Gegamané kang kondhang yaiku Gada Rujakpolo lan kuku Pancanaka. Bima ora gelem basa karo sapa waé, kejaba nalika ing lakon Bima Suci/Nawaruci. Ing lakon iki Bima ketemu karo Déwa Ruci. Wujudé Déwa Ruci kaya déné Bima. Déwa iki metu seka kupingé lan ngandhani Bima perkara filsafat urip. Ing pungkasan crita wayang, Bima muksa bareng karo Pandhawa liyané nuju swargaloka.

Nakula ( Menggunakan bahasa Jawa)

Raden Nakula putrane Prabu Pandhu lan Dewi Madrim. Satriya sumendhining Pandhawa (kakang ragil). Kagungan rayi siji tunggal rama ibu, kekasihe Raden Sadewa. Wujude Nakula lan Sadewa, kembar. Kembar rupa, swara, lan busana.

Nalika timure, Raden Nakula kekasih Raden Pinten, dene Raden Sadewa kekasih Raden Tangsen. Kasatriyane Raden Nakula ing Sawojajar.

Sedulure beda ibu ana telu, yaiku : 1. Prabu Puntadewa, 2. Raden Wrekudara, 3. Raden Janaka. Puntadewa, Wrekudara, Janaka, Nakula, lan Sadewa, sinebut kadang Pandhawa, saka tembung linggane Pandhu lan hawa tegese putra Pandhu.


Manut layang Purwacarita, garwane Raden Nakula sesilih Dewi Srengganawati, putrane Sang Hyang Badhawanganala. Karo Dewi Srengganawati iki, Raden Nakula peputra siji sesilih Dewi Sri Tanjung.
Manut layang Pustaja Raja, garwane Raden Nakula sesilih Dewi Suyati, putrane Prabu Kridhakerata, ratu ing Awuawulangit. Nakula klakon nggarwa Dewi Suyati sawise bisa ngalahake Indrakesata. Karo Dewi Suyati iki, Raden Nakula peputra loro, yaiku: Raden Pramusinta lan Dewi Pramuwati.
Wujude Raden Nakula satriya bagus, mbranyak pasemone. Watake jujur lan bekti marang sedulur tuwa.

Ngarepake pungkase perang Bharatayuda, Raden Nakula lan Sadewa disraya dening Prabu Kresna supaya sowan ing ngarsane Prabu salya (uwake / pakdhene) kanthi ngliga keris, pasrah pati urip. Dhawuh iki ditindakake, satemah Prabu Salya mblakakake isen – isening atine lan nyuwun tandhing mungsuh Prabu Puntadewa. Satemah dadi srana menange Bharatayuda tumrap Pandhawa.

=========

Nakula iku sawijining paraga Mahabharata. Nakula artine ‘’bisa nguwasabi awake dhewe’’. Ing pedhalangan, nalika isih enom Nakula nganggo jeneng Pinten. Pinten iku sejatine jeneng tanduran kang godhonge bisa kanggo obat. Kaya jenenge, Nakula lantip ing obat-obatan amarga tinitisan Batara Aswi , dewane tabib. Satriya iki salah sijine Pandhawa lan nduwe kembaran kang jenenge Sadewa. Beda karo Yudhistira, Werkudara, lan Janaka, Nakula lan Sadewa iki lair seka Dewi Madrim. Nalika Pandhu palastra, Dewi Madrim bela pati lan kembar iki lair seka wetenge kang suwek dening keris.

Raden Nakula kuwi satriya kembar kemanikan. Sedulur kembare aran Raden Sadewa iya Sahadewa. Sekarone putrane nata ing Astina, Prabu Pandhudewanata, lan mijil saka garwa Dewi Madrim, kadang enome Raden narasoma iya Prabu Salya nata ing Mandaraka.Ing Mahabharata, Nakula artine ‘’bisa nguwasabi awake dhewe’’. Ing pedhalangan, nalika isih padha cilik-cilik, Nakula kuwi arane Pinten, lan kembarane Sadewa aran Tangsen. Pinten iku sejatine jeneng tandhuran kanmg godhonge bisa kanggo obat, Kaya jenenge, Nakula lan sadewa lantip ing babagan obat-obatan amraga satriya sakloron kuwi titise dewa kembar, Bathara Aswan lan Aswin, dewane tabib. Satriya sakembaran iku klebu sedulur nunggal rama seje ibu yen karo Prabu Puntadewa, Werkudara lan Arjuna. Lan satriya lima kasebut kawentar kanthi aran Pandhawa. Kekarone setya lan bekti banget marang para kadhang sepuhe, senadyan seje ibu. Prabu Puntadewa, Werkudara, lan Arjuna mijil saka ibu Dewi Kunthi.

Nalika dumadine perang baratayuda, Prabu salya melu Kurawa. Siji mbaka siji senopati Kurawa padha gugur. Nganthi Prabu Salya piyambak sabanjure nyarirani pribadi dadi senopati agung. Jalaran Prabu salya iku iya isih marasepuhe Prabu Duryudana, nata Astina. Nalika mireng yen kang madeg senopati agung Prabu salya, para Pandhawa padha bingung. nanging botohe Pandhawa sing sugih pratikel, Prabu Kresna banjur dhawuh marang Nakula lan Sadewa supaya marak ing ngarsane Prabu salya, api-api nyuwun dipateni wae. Mesthi wae Prabu Salya ora mentala mateni perunane kuwi. Malah banjur atine rumangsa keranta-ranta merga kelingan amarng adhine (Dewi Madrimm) kang wis sedha bela pati marang Pandhu lan ninggali bayi kembar kang isih abang, yakuwi Pinten lan tangsen iku. Mung merga saka beciking pakartine Dewi Kunthi, bayi kembar kuwi nadyan dudu putrane dhewe tetep digula wentah kanthi kebak rasa tresna asih tanprabedha karo anake dhewe.

Jroning bathine, satemene Prabu salya luwih tresna lan abot marang para Pandhawa kuwi ketimbang marang mantune. Lan saliyane trenyuh bareng ndeleng Nakula-Sadewa, Prabu Salya uga banjur kelingan marang marasepuhe, Begawan Bagaspati sing sedane merga saka pakartine Sang Prabu Salya duk isih enome. Sang Begawan nalika sedane ninggal suwara yen babak nagih janji lumantar ratu kang kasinungan ludira seta, sing ora liya Prabu Puntadewa.

Mula Salya banjur paring dhawuh marang nakula-Sedewa supaya bali, lan meling supaya sing methuake yudane, Prabu Puntadewa. Temenan, bareng tempuking yuda, Prabu Salya nglilakae patine nalika adu arep karo Prabu Puntadewa. Aji-ajine aran Chandabirawa ora kuwan nyedhaki Prabu Puntadewa lan banjur ilang musna. Prabu Salya akhire sedha disawat pusaka Jamus Kalimasada. Kasatriyane Nakula kuwi ing Sawojajar, dene Sadewa ing Paweratalun. Garwane nakula kekasih Dewi Srengginiwati kang banjur peputra Dewi Sri Tanjung. Dene Sadewa nggarwa Dewi Srenggini kang sateruse peputra Bambang Widapeksa (Suwidapaksa). Dewi Srengganawati lan Srenggini iku putrane Sang Hyang Badawanganala, dewane bulus, ing Narmada Wailu. Ing lakon Sudamala utawa Durga Ruwat, dicritakake yen akhire sawise klakon ngruwat Bathari Durga, Nakula-Sadewa palakrama anthuk Endhang Suka lan Pradapa, kekarone putrine Resi Tambrapetha saka pratapan Prangalas. Kekarone banjur peputra Raden Saluwita, Pramusinta lan Pramuwati. Yen pinuju pisowanan ing Amarta lungguhe Nakula Sadewa ngapit ingkang raka Prabu Puntadewa lan kekarone padha ngapurancang.

Sadewa (Menggunakan bahasa Jawa)


Raden Sadewa (Sahadewa) putrane Prabu Pandhu lan Dewi Madrim. Satriya wuragile Pandhawa. Kembarane Raden Sadewa asmane Raden Nakula. Wujude Nakula lan Sadewa kembar, kembar rupa, swara, lan busana.

Nalika timure, Raden Sadewa kekasih Raden Tangsen, kasatriyane Sadewa ing Baweratalun (Bumiretawu).

Sedulure beda ibu ana telu, yaiku : 1. Prabu Puntadewa, 2. Raden Wrekudara, 3. Raden Janaka. Puntadewa, Wrekudara, Janaka, Nakula, lan Sadewa, sinebut kadang Pandhawa, saka tembung linggane Pandhu lan hawa tegese putra Pandhu.

Raden Sadewa titising bhatara Aswin, dewa tabib. Wiwit cilik digulawenthah dening Dewi Kunthi. Wujude Raden Sadewa satriya bagus, mbranyak pasemone. Watake jujur lan bekti marang sedulur tuwa.

Ing lakon Babad Alas Mretani, Raden Tangsen bisa ngasorake yudane Jim Sadewa (riwayat liya sinebut Ditya Sapulebu), satemah Jim Sadewa mau masrahake kasatriyane, yaiku Baweratalun lan paring Aji Pramanajati kang dayane bisa ngerti sadurunge winarah.

Kanthi dayane Aji Pramanajati, Raden Sadewa bisa mbatang sayembara cangkriman “sejatining lanang, sejatining wadon”. Banjur didhaupake klawan Dewi Srengginiwati, putrane Prabu Bhadawanganala, ratu ing gisik samudra. Sabanjure peputra Sidapeksa.

Ing lakon Sudamala, Raden Sadewa sing ragane kapanjingan Bathara Guru, bisa ngruwat Bathari Durga. Sang Bathari banget panarimane marang Raden Sadewa. Dening Sang Bethari Raden Sadewa pinaringan asma “Sudamala” tegese ngresikake rereged. Sarta kadhawuhan nggarwa Dewi Padapa, anake Begawan Tambrapetra ing padhepokan Prangalas.

Artikel Terkait :
Puntadewa / Yudistira (Bahasa Jawa)
Werkudara / Bima (Bahasa Jawa)
Arjuna (Bahasa Jawa)
Nakula (Bahasa Jawa)
Sadewa (Bahasa Jawa)

Arjuna /Janaka ( Menggunakan bahasa Jawa } versi lain


Ing jagad ora ana tandhingane bab kebagusane, amarga Janaka minangka simbol amal becik. Amal becik ora bisa pisah klawan swarga (Jannah). Janaka saka tembung jannahuka, tegese swargamu. Mula sapa sing kepengin mlebu swarga, kudu tumindak becik lan nindakake tuntunaning agama kanthi temen.


Arjuna satriya digdaya sekti mandraguna, polatan luruh jatmika, prigel ing samubarang, seneng tetulung marang sapa bae, mula ditresnani dening sapa bae. Ora mokal yen garwane pirang – pirang. Bojo akeh iki tegese Janaka ditresnani dening sapa bae. Yen priya ngondhangake kasudibyane, yen wanita ngondhangake sigiting citra.

Arjuna kejaba sugih bojo, uga sugih kawruh (ilmu), sugih gaman lan mantran, sugih guru. Meguru marang Begawan Padmanaba antuk aji telung warna, yaiku : 1. Aji Sepiangin, dayane aji yen kawateg, kebating lakune Arjuna tan prabeda kaya kebating angin. Lakune bisa ngungkuli lakuning barat, 2. Aji Malayabumi, Arjuna bisa ilang sapalungguhan, 3. Aji Sempaliputri, Arjuna bisa manijing ajur ajer.

Pusakane pirang – pirang. Kang asring digunakake : Keris Pulanggeni, Kalanadhah, Panah Merdaging, Rodha Dhadhali, Haryas Sangkala, Sarutama, Pasopati.

Artikel Terkait :
Puntadewa / Yudistira (Bahasa Jawa)
Werkudara / Bima (Bahasa Jawa)
Arjuna (Bahasa Jawa)
Nakula (Bahasa Jawa)
Sadewa (Bahasa Jawa)